Ada yang berbeda ketika saya berada di bus antar kota
menuju Karawang, Jawa Barat. Dari atmoshpere dan penumpang yang terlihat, tentu
saja ini bukan hal biasa yang sering saya temui. Pemandangannya kontras dengan
ketika saya naik bus dari Bekasi menuju Jakarta atau sebaliknya. Di tengah
perjalanan, seorang pengamen masuk. Saya sih berharap bisa terhibur dengan lagu
yang ia mainkan. Karna percaya atau nggak, pengamen di bus patas yang biasa
saya tumpangi selalu mengejutkan dari lagu yang dimainkannya. Dari Iwan Fals
hingga lagu barat yang saya pun bahkan nggak tau liriknya Dan benar aja,
pengamen bus Agra Mas ini memainkan lagu dari ST-12.
Nggak heran kalo si pengamen nyanyiin lagu tersebut. Saya
ngeliat ke sekitar, dari penglihatan semata, saya ngambil kesimpulan kalo kebanyakan
penumpang disini nggak mungkin ngedengerin lagu EndahnRhesa atau Payung Teduh. Bukan
juga karena si pengamen nggak tau lagu-lagu itu. Tapi coba silakan cek playlist
di gadget setiap penumpang, paling
banter Andra&TheBackbone, The Virgin, Kotak, Ungu, Sheila On 7, Padi, atau
Naif. Karena di daerah-daerah kecil,
seperti Karawang dan sekitarnya, band-band atau penyanyi yang sering muncul di
TV-lah yang mereka tahu. Mereka nggak akan pernah tahu ada band seperti
Rumahsakit, EndahnRhesa, Payung Teduh, Gugun Blues Shelter, atau semacamnya
yang sering saya dengar. Andai kata mereka tahu, apa mungkin mereka
menyukainya? Disinilah lingkungan dan selera musik bicara, bukan masalah indie atau mainstream. Mungkin selanjutnya si pengamen akan bawain lagu Wali.
Nggak ada yang salah sama sekali dengan ST-12. Juga
nggak ada yang salah dengan kota Karawang dan penumpang di bus tersebut. Ini
cuma masalah selera. Saya inget beberapa tahun yang lalu saya pernah mendengar
wawancara Efek Rumah Kaca di suatu radio. Kebetulan saya dengerin lewat ponsel
yang saat itu sedang di loudspeaker.
Pas di segmen akustikan, saya berjalan ke meja makan sambil membawa ponsel dan
bertemu sama om saya. mendengar suara Cholil, vokalis ERK, si om memberikan
komentar, “Lagu apaan sih, Gil? Suaranya kok cempreng gitu..?”. Hal ini sama
seperti ketika kita melihat Charlie, vokalis ST12-bernyanyi sambil nangis di
atas panggung atau melihat vokalis Wali yang lincah loncat-loncatan. Atau juga
saat kita melihat Kangen Band dengan poninya yang membutakan mata. Apa yang ada
dibenak kita saat melihatnya? Geli? Norak? Lebay? Tapi memang itu sepertinya
jalur dan cara mereka memainkan musik. Dan tentu mereka punya target pasar
sendiri. Dan saya harus akui, kalo mereka cukup berhasil di pasarnya.
Mungkin orang-orang yang selera musiknya sama dengan
om saya ini, atau penumpang bus dengan playlist yang saya perkirakan tadi,
nggak akan dateng ke pagelaran JavaRockingLand. Siapa itu Navicula, Seringai,
Payung Teduh? Mereka lebih memilih konser yang ada band kesayangan mereka yang
sering mereka lihat di TV. ST12, Wali, Ungu, The Virgin, Kotak, itulah pesta
rakyat mereka. Sehebat apa pun list
artist di JRL buat saya, belum tentu sama dengan mereka. Hal kecilnya, sama
seperti saat kita melihat playlist lagu di gadget
teman kita yang jauh berbeda genre dengan
kita. Kita pasti akan bergumam “Kok lagunya gini semua?” atau “Ah lagunya nggak
ada yang ngerti!!”
Kita tau musik itu universal. Musik ada untuk siapa
aja. Dengan banyaknya genre, kita
bisa bebas dengerin apa yang kita suka. Masalahnya, bagaimana dengan musik yang
kita nggak suka? Silakan bilang saya cupu, cemen, atau katrok, karena mungkin saya akan bilang kalo band-band Trash dan
Hardcore itu cuma bisa teriak-teriak doang. Saya nggak tau apa yang mereka mainkan
atau nyanyikan. Tapi saya tau kalo mereka sedang mengekspresikan diri mereka,
dan musik itulah yang mereka pilih. Tapi karna saya nggak ngerti dan nggak suka
dengan musik mereka, ya nggak saya dengerin. Semua emang balik lagi ke selera
masing-masing.
Mari lupakan tentang pengamen dan penumpang di bus
tadi.Sekali lagi, ini bukan tentang benar atau salah. Ini tentang cara pandang
kita melihat sesuatu, yang dalam konteks di sini adalah musik. Jika itu memang
bukan musik yang kita inginkan, yasudah. Biarkan. Kita emang punya hak tuk
berkomentar, tapi c’mon, sampai kapan
kita harus terus mengomentari hal-hal yang kita nggak suka? Kenapa kita nggak
nikmatin aja yang kita suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar