Juni 02, 2013

Ini Semua Sama Saja


Ada yang berbeda ketika saya berada di bus antar kota menuju Karawang, Jawa Barat. Dari atmoshpere dan penumpang yang terlihat, tentu saja ini bukan hal biasa yang sering saya temui. Pemandangannya kontras dengan ketika saya naik bus dari Bekasi menuju Jakarta atau sebaliknya. Di tengah perjalanan, seorang pengamen masuk. Saya sih berharap bisa terhibur dengan lagu yang ia mainkan. Karna percaya atau nggak, pengamen di bus patas yang biasa saya tumpangi selalu mengejutkan dari lagu yang dimainkannya. Dari Iwan Fals hingga lagu barat yang saya pun bahkan nggak tau liriknya Dan benar aja, pengamen bus Agra Mas ini memainkan lagu dari ST-12.

Nggak heran kalo si pengamen nyanyiin lagu tersebut. Saya ngeliat ke sekitar, dari penglihatan semata, saya ngambil kesimpulan kalo kebanyakan penumpang disini nggak mungkin ngedengerin lagu EndahnRhesa atau Payung Teduh. Bukan juga karena si pengamen nggak tau lagu-lagu itu. Tapi coba silakan cek playlist di gadget setiap penumpang, paling banter Andra&TheBackbone, The Virgin, Kotak, Ungu, Sheila On 7, Padi, atau Naif.  Karena di daerah-daerah kecil, seperti Karawang dan sekitarnya, band-band atau penyanyi yang sering muncul di TV-lah yang mereka tahu. Mereka nggak akan pernah tahu ada band seperti Rumahsakit, EndahnRhesa, Payung Teduh, Gugun Blues Shelter, atau semacamnya yang sering saya dengar. Andai kata mereka tahu, apa mungkin mereka menyukainya? Disinilah lingkungan dan selera musik bicara, bukan masalah indie atau mainstream. Mungkin selanjutnya si pengamen akan bawain lagu Wali.

Nggak ada yang salah sama sekali dengan ST-12. Juga nggak ada yang salah dengan kota Karawang dan penumpang di bus tersebut. Ini cuma masalah selera. Saya inget beberapa tahun yang lalu saya pernah mendengar wawancara Efek Rumah Kaca di suatu radio. Kebetulan saya dengerin lewat ponsel yang saat itu sedang di loudspeaker. Pas di segmen akustikan, saya berjalan ke meja makan sambil membawa ponsel dan bertemu sama om saya. mendengar suara Cholil, vokalis ERK, si om memberikan komentar, “Lagu apaan sih, Gil? Suaranya kok cempreng gitu..?”. Hal ini sama seperti ketika kita melihat Charlie, vokalis ST12-bernyanyi sambil nangis di atas panggung atau melihat vokalis Wali yang lincah loncat-loncatan. Atau juga saat kita melihat Kangen Band dengan poninya yang membutakan mata. Apa yang ada dibenak kita saat melihatnya? Geli? Norak? Lebay? Tapi memang itu sepertinya jalur dan cara mereka memainkan musik. Dan tentu mereka punya target pasar sendiri. Dan saya harus akui, kalo mereka cukup berhasil di pasarnya.

Mungkin orang-orang yang selera musiknya sama dengan om saya ini, atau penumpang bus dengan playlist yang saya perkirakan tadi, nggak akan dateng ke pagelaran JavaRockingLand. Siapa itu Navicula, Seringai, Payung Teduh? Mereka lebih memilih konser yang ada band kesayangan mereka yang sering mereka lihat di TV. ST12, Wali, Ungu, The Virgin, Kotak, itulah pesta rakyat mereka. Sehebat apa pun list artist di JRL buat saya, belum tentu sama dengan mereka. Hal kecilnya, sama seperti saat kita melihat playlist lagu di gadget teman kita yang jauh berbeda genre dengan kita. Kita pasti akan bergumam “Kok lagunya gini semua?” atau “Ah lagunya nggak ada yang ngerti!!”

Kita tau musik itu universal. Musik ada untuk siapa aja. Dengan banyaknya genre, kita bisa bebas dengerin apa yang kita suka. Masalahnya, bagaimana dengan musik yang kita nggak suka? Silakan bilang saya cupu, cemen, atau katrok, karena mungkin saya akan bilang kalo band-band Trash dan Hardcore itu cuma bisa teriak-teriak doang. Saya nggak tau apa yang mereka mainkan atau nyanyikan. Tapi saya tau kalo mereka sedang mengekspresikan diri mereka, dan musik itulah yang mereka pilih. Tapi karna saya nggak ngerti dan nggak suka dengan musik mereka, ya nggak saya dengerin. Semua emang balik lagi ke selera masing-masing.

Mari lupakan tentang pengamen dan penumpang di bus tadi.Sekali lagi, ini bukan tentang benar atau salah. Ini tentang cara pandang kita melihat sesuatu, yang dalam konteks di sini adalah musik. Jika itu memang bukan musik yang kita inginkan, yasudah. Biarkan. Kita emang punya hak tuk berkomentar, tapi c’mon, sampai kapan kita harus terus mengomentari hal-hal yang kita nggak suka? Kenapa kita nggak nikmatin aja yang kita suka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar