April 13, 2014

Anomali Versi Jiban

“Gua heran, kok lu beruntung banget sih?” tanya Jiban yang duduk di bibir pantai. Di sebelahnya ada Rafa yang rebahan menatap langit sore dengan kacamata hitamnya.
“Nggak ngerti. Gua cuma ikut kuis, kirim jawaban yang panitia maksud, terus menang. Udah gitu doang.” Jawabnya menjelaskan kronologi keberuntungannya.
“Iya, tapi lu tuh udah sering banget menang kuis. Dari yang hadiahnya tiket konser, voucher makan, Iphone, Ipad, Ironman..”
“Boneka Ironman!!” Rafa membenarkan.
“Iya itu.. Terus sekarang dapet tiket ke Bali. And now.. Pantai Nusa Dua!! Canggih banget lu!!” puji Jiban.
Rafa sudah bosen dengar ocehan tentang itu. Semua teman-temannya, termasuk Jiban sudah terlalu sering menyinggung tentang keberuntungannya ini. Namun buat dia sendiri itu bukanlah keberuntungan, hanya sebagian kecil dari proses perputaran bumi. Dia percaya kalau semua ini sudah lama tertulis dalam agenda hidupnya di dimensi yang tak tahu harus dia sebut apa.
“Lu tau itu?” Jiban menunjuk sebuah tempat, “The Bay Bali!! Tempat paling gokil!! Ntar malem kita ke sana!!” lanjutnya. Mereka kembali menikmati kenyamanannya di pantai itu. Suara kicau burung mengadu dengan angin laut yang tenang.
“Tapi Alisa nggak cemburu atau marah kan kalo lu ngajak gua, bukan ngajak doi?” Jiban coba memastikan keikhlasan hati Rafa yang sudah memberikan satu tiket untuknya.
“Kalo masalah itu sih emang udah rejeki lu aja, Ban.” Jawab Rafa.
Memang semua pemenang dari kuis yang diadakan oleh merk kaos kaki ternama ini menghadiahkan 10 tiket pulang pergi Bali plus voucher menginap untuk 5 orang pemenang selama tiga hari. Yang artinya pemenang boleh mengajak 1 orang buat ikut, apa pun statusnya. Entah itu pacar, teman, saudara, ayah, ibu, bos, tetangga atau yang lainnya. Dan semua pemenang memilih untuk membawa pacarnya, kecuali Rafa yang membawa peliharaaanya.
“Emang lu nggak iri liat yang lain bawa pasangan?” kata Jiban sembari melihat 2 pasangan yang tak jauh dari tempat mereka. “Lu liat deh tuh!! Mukanya bahagia banget. Dobel itu mah bahagianya.”
Seketika Rafa menaikan punggungnya, bangun dari posisi sebelumnya dan kemudian duduk. “Bahagia itu cuma kata kerja yang ngasih efek euforia. Ntar juga ilang.” Jelasnya.
“Sok tau lu ah!!” cibir Jiban. “Tapi gua berani taruhan sih, kalo ke-4 pasangan itu pasti masukin ‘ngeliat sunrise atau sunset’ dalam daftar wajib yang harus dilakukan di sini.” Tambahnya.
Rafa hanya menyeringai mendengarnya. “Kalo emang itu salah satu dari kebahagian yang mereka cari, kenapa nggak?”
“Masalahnya nih ya, Fa, belum ada cewek yang mau ngajak gua buat nyobain kebahagian itu.” ucap Jiban lirih. Wajahnya memelas minta dikasihani.
§      
Rafa, Jiban dan 2 pasangan yang sama saat di pantai sore tadi pergi menuju ke Pirates Bay. Di sana cukup ramai dan riuh, meskipun tak seramai penduduk Jakarta yang dikalikan penduduk New Delhi lalu dijumlahkan dengan penduduk Alaska. Mereka kumpul dan ngobrol bersama, bertukar cerita tentang kesehariannya masing-masing, setelah sebelumnya makan malam di Bebek Bengil yang terkenal itu. Sedangkan 2 pasangan lainnya memilih makan malam di De Opera.
Jiban yang sedari tadi sudah menghabiskan 4 gelas besar berisi alkohol, keluar dari kelompok, dia masih merasa kurang dan ingin minum lagi. Dia melangkah gontai berjalan menuju meja dimana minuman itu berada. Jiban mengambil 1 gelas untuknya.
“Satu lagi dong!!” suara manis terdengar di belakangnya. Suara yang menyatu dengan gemircik bunyi dedaunan di ranting pohon kurus yang terkena hembusan angin.
Jiban menoleh, dia mendapati seorang wanita di hadapannya. “Mau juga?” lalu dia mengambil 1 gelas lagi untuk wanita itu, wanita yang dia lihat dengan pasangannya di pantai sore tadi.
“Thanks!!”
Saat Jiban ingin mengajaknya ke tempat mereka berkumpul, wanita itu menolaknya “Jangan ke sana dulu. Ada pacarku. Dia nggak akan senang kalo ngeliat aku minum alkohol.” Katanya.
“Oh, Oke..”
“Gimana kalo kita kesana aja..” ajak wanita itu menunjuk arah pantai.
Awalnya Jiban sedikit ragu. Karna kalau pacar si wanita melihat mereka berduaan, akan terjadi salah paham. Dan tak jarang dari suatu kesalahpahaman bisa timbul bunuh-bunuhan. Tapi dia membuang bagian terakhir. Jiban patuh.
Wanita itu bernama Niomi. Dia mengenalkan dirinya terlebih dulu.
“Gua Jiban.”
“Jiban? Kok lucu sih? Kaya nama jagoan anak-anak jaman 90-an.”
“Itu singkatan dari Aji Bandel. Karena waktu kecil gua emang nakal banget.” Tukas Jiban menceritakan asal-usul namanya.
Niomi tersenyum. Dia sedikit kagum dengan singkatan nama itu. Cuma sedikit. “Sekarang kamu masih nakal?” tanyanya.
“Nggak tau juga sih? Kan orang lain yang menilai. Tapi kalo misalkan udah nggak nakal pun kayanya gua nggak mau ganti nama jadi Ajib, alias Aji Baik.”
Tawa Niomi makin jadi. Tak sadar dia baru saja memercikan pesona dirinya ke lawan bicaranya.
Jiban meleleh. Tawa itu manis. Dia telah siap terkena diabetes stadium lima puluh.
Obrolan berlanjut lepas. Keduanya terlihat akrab. Mmungkin efek alkohol memudahkan mereka untuk mengenal satu sama lain, karna berbagai cerita terlontar begitu saja tanpa arah. Badan mereka mendekat, bahu bersentuhan, harum tubuh masing-masing merambat ke saraf. Galaksi pun mendukung mereka, memberikan keindahan alamnya di depan mata, semacam saksi akan kebersamaan. Inilah kebahagian dalam pengertian Jiban.
Tapi sayangnya tak ada yang dapat menolak waktu berputar, apalagi hanya seorang Jiban. Gelas mereka telah kosong dan sepertinya kembali ke rombongan adalah hal yang baik dari pada menimbulkan pertanyaan dari pacarnya Niomi dan berbagai pihak lainnya. Cupid misalnya, “Nih gua jadiin nggak ya? Tapi kayanya kurang cocok nih. Tapi dua-duanya bahagia. Gimana ya?” , lalu malaikat pencabut nyawa, “Si Jiban baru aja pengen gua bunuh, tapi lagi bahagia banget. Jadi nggak tega nih..”.
“Ban, muka aku aman kan?” tanya Niomi saat akan menuju rombongan. Khawatir pacarnya melihat efek alkohol di wajahnya.
Jiban memandangnya.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Dia belum menjawab.
Lima belas detik.
Dua puluh detik.
Masih tak ada jawaban.
Tiga puluh detik.
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
“Ban!! .. Jiban!! .. Woyy!! JIBAN!!” Rafa berteriak tepat di telinga Jiban.
“Haaa..ahhh..” matanya terbuka perlahan. Dilihatnya segerombolan orang sudah mengerubunginya. Tubuhnya kini sejajar dengan pasir. “Ke..naap.. .. .. pa gua, Ffffa?” katanya lemes.
“Akkhhhh!! Nyusahin!!” bentak Rafa.
Orang-orang di sana tertawa melihat Jiban. Dia terjatuh beberapa langkah setelah keluar dari obrolan kelompoknya.
“Lu kebanyakan minum sih. Gaya!!"



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!