“Gua heran, kok lu beruntung banget sih?” tanya Jiban
yang duduk di bibir pantai. Di sebelahnya ada Rafa yang rebahan menatap langit
sore dengan kacamata hitamnya.
“Nggak ngerti. Gua cuma ikut kuis, kirim jawaban yang
panitia maksud, terus menang. Udah gitu doang.” Jawabnya menjelaskan kronologi
keberuntungannya.
“Iya, tapi lu tuh udah sering banget menang kuis. Dari
yang hadiahnya tiket konser, voucher makan, Iphone, Ipad, Ironman..”
“Boneka Ironman!!” Rafa membenarkan.
“Iya itu.. Terus sekarang dapet tiket ke Bali. And now.. Pantai Nusa Dua!! Canggih
banget lu!!” puji Jiban.
Rafa sudah bosen dengar ocehan tentang itu. Semua
teman-temannya, termasuk Jiban sudah terlalu sering menyinggung tentang
keberuntungannya ini. Namun buat dia sendiri itu bukanlah keberuntungan, hanya
sebagian kecil dari proses perputaran bumi. Dia percaya kalau semua ini sudah
lama tertulis dalam agenda hidupnya di dimensi yang tak tahu harus dia sebut
apa.
“Lu tau itu?” Jiban menunjuk sebuah tempat, “The Bay
Bali!! Tempat paling gokil!! Ntar malem kita ke sana!!” lanjutnya. Mereka kembali
menikmati kenyamanannya di pantai itu. Suara kicau burung mengadu dengan angin
laut yang tenang.
“Tapi Alisa nggak cemburu atau marah kan kalo lu
ngajak gua, bukan ngajak doi?” Jiban coba memastikan keikhlasan hati Rafa yang
sudah memberikan satu tiket untuknya.
“Kalo masalah itu sih emang udah rejeki lu aja, Ban.”
Jawab Rafa.
Memang semua pemenang dari kuis yang diadakan oleh
merk kaos kaki ternama ini menghadiahkan 10 tiket pulang pergi Bali plus
voucher menginap untuk 5 orang pemenang selama tiga hari. Yang artinya pemenang
boleh mengajak 1 orang buat ikut, apa pun statusnya. Entah itu pacar, teman,
saudara, ayah, ibu, bos, tetangga atau yang lainnya. Dan semua pemenang memilih
untuk membawa pacarnya, kecuali Rafa yang membawa peliharaaanya.
“Emang lu nggak iri liat yang lain bawa pasangan?”
kata Jiban sembari melihat 2 pasangan yang tak jauh dari tempat mereka. “Lu
liat deh tuh!! Mukanya bahagia banget. Dobel itu mah bahagianya.”
Seketika Rafa menaikan punggungnya, bangun dari posisi
sebelumnya dan kemudian duduk. “Bahagia itu cuma kata kerja yang ngasih efek
euforia. Ntar juga ilang.” Jelasnya.
“Sok tau lu ah!!” cibir Jiban. “Tapi gua berani
taruhan sih, kalo ke-4 pasangan itu pasti masukin ‘ngeliat sunrise atau sunset’
dalam daftar wajib yang harus dilakukan di sini.” Tambahnya.
Rafa hanya menyeringai mendengarnya. “Kalo emang itu
salah satu dari kebahagian yang mereka cari, kenapa nggak?”
“Masalahnya nih ya, Fa, belum ada cewek yang mau
ngajak gua buat nyobain kebahagian itu.” ucap Jiban lirih. Wajahnya memelas
minta dikasihani.
§
Rafa, Jiban dan 2 pasangan yang sama saat di pantai
sore tadi pergi menuju ke Pirates Bay. Di sana cukup ramai dan riuh, meskipun
tak seramai penduduk Jakarta yang dikalikan penduduk New Delhi lalu dijumlahkan
dengan penduduk Alaska. Mereka kumpul dan ngobrol bersama, bertukar cerita
tentang kesehariannya masing-masing, setelah sebelumnya makan malam di Bebek
Bengil yang terkenal itu. Sedangkan 2 pasangan lainnya memilih makan malam di
De Opera.
Jiban yang sedari tadi sudah menghabiskan 4 gelas
besar berisi alkohol, keluar dari kelompok, dia masih merasa kurang dan ingin
minum lagi. Dia melangkah gontai berjalan menuju meja dimana minuman itu
berada. Jiban mengambil 1 gelas untuknya.
“Satu lagi dong!!” suara manis terdengar di
belakangnya. Suara yang menyatu dengan gemircik bunyi dedaunan di ranting pohon
kurus yang terkena hembusan angin.
Jiban menoleh, dia mendapati seorang wanita di
hadapannya. “Mau juga?” lalu dia mengambil 1 gelas lagi untuk wanita itu,
wanita yang dia lihat dengan pasangannya di pantai sore tadi.
“Thanks!!”
Saat Jiban ingin mengajaknya ke tempat mereka
berkumpul, wanita itu menolaknya “Jangan ke sana dulu. Ada pacarku. Dia nggak
akan senang kalo ngeliat aku minum alkohol.” Katanya.
“Oh, Oke..”
“Gimana kalo kita kesana aja..” ajak wanita itu
menunjuk arah pantai.
Awalnya Jiban sedikit ragu. Karna kalau pacar si
wanita melihat mereka berduaan, akan terjadi salah paham. Dan tak jarang dari
suatu kesalahpahaman bisa timbul bunuh-bunuhan. Tapi dia membuang bagian
terakhir. Jiban patuh.
Wanita itu bernama Niomi. Dia mengenalkan dirinya
terlebih dulu.
“Gua Jiban.”
“Jiban? Kok lucu sih? Kaya nama jagoan anak-anak jaman
90-an.”
“Itu singkatan dari Aji Bandel. Karena waktu kecil gua
emang nakal banget.” Tukas Jiban menceritakan asal-usul namanya.
Niomi tersenyum. Dia sedikit kagum dengan singkatan
nama itu. Cuma sedikit. “Sekarang kamu masih nakal?” tanyanya.
“Nggak tau juga sih? Kan orang lain yang menilai. Tapi
kalo misalkan udah nggak nakal pun kayanya gua nggak mau ganti nama jadi Ajib,
alias Aji Baik.”
Tawa Niomi makin jadi. Tak sadar dia baru saja
memercikan pesona dirinya ke lawan bicaranya.
Jiban meleleh. Tawa itu manis. Dia telah siap terkena
diabetes stadium lima puluh.
Obrolan berlanjut lepas. Keduanya terlihat akrab. Mmungkin
efek alkohol memudahkan mereka untuk mengenal satu sama lain, karna berbagai
cerita terlontar begitu saja tanpa arah. Badan mereka mendekat, bahu
bersentuhan, harum tubuh masing-masing merambat ke saraf. Galaksi pun mendukung
mereka, memberikan keindahan alamnya di depan mata, semacam saksi akan
kebersamaan. Inilah kebahagian dalam pengertian Jiban.
Tapi sayangnya tak ada yang dapat menolak waktu berputar,
apalagi hanya seorang Jiban. Gelas mereka telah kosong dan sepertinya kembali ke
rombongan adalah hal yang baik dari pada menimbulkan pertanyaan dari pacarnya
Niomi dan berbagai pihak lainnya. Cupid misalnya, “Nih gua jadiin nggak ya? Tapi
kayanya kurang cocok nih. Tapi dua-duanya bahagia. Gimana ya?” , lalu malaikat pencabut
nyawa, “Si Jiban baru aja pengen gua bunuh, tapi lagi bahagia banget. Jadi nggak
tega nih..”.
“Ban, muka aku aman kan?” tanya Niomi saat akan menuju
rombongan. Khawatir pacarnya melihat efek alkohol di wajahnya.
Jiban memandangnya.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Dia belum menjawab.
Lima belas detik.
Dua puluh detik.
Masih tak ada jawaban.
Tiga puluh detik.
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
“Ban!! .. Jiban!! .. Woyy!! JIBAN!!” Rafa berteriak
tepat di telinga Jiban.
“Haaa..ahhh..” matanya terbuka perlahan. Dilihatnya
segerombolan orang sudah mengerubunginya. Tubuhnya kini sejajar dengan pasir.
“Ke..naap.. .. .. pa gua, Ffffa?” katanya lemes.
“Akkhhhh!! Nyusahin!!” bentak Rafa.
Orang-orang di sana tertawa melihat Jiban. Dia terjatuh
beberapa langkah setelah keluar dari obrolan kelompoknya.
“Lu kebanyakan minum sih. Gaya!!"
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Ya ampun Agil, emejing!!! Rafa-nya itu si Raka, ya :p?
BalasHapus